Rofi telah sepekan sakit: meriang, lesu serta ngilu segala sendi- sendi tiba bertepatan melanda badannya. Panitia pemilu( KPPS) di Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan ini juga mengaku jera jadi pahlawan demokrasi, gelar yang belum lama disematkan pada panitia pemilu sehabis banyak KPPS wafat dunia akibat keletihan.
" Yang wafat telah lebih 140 KPPS, buat khawatir aja. Tetapi memanglah, honor tidak sebanding dengan beban kerja, mudah- mudahan tidak terdapat lagi pemilu serentak," kata laki- laki 27 tahun ini tentang sebabnya kapok jadi panitia pemilu.
Pada hari H pemilu serentak, Rabu 17 April kemudian, Rofi telah datang di TPS semenjak jam 6 pagi. Semenjak itu, mata ayah satu anak ini hampir tidak terpejam oleh aneka banyak aktivitas mulai dari memilah pesan suara setelah itu menuliskan nama pemilih setimpal DPT.
Banyak aktivitas kian padat selepas duhur, sehabis pencoblosan ditutup. Rofi serta 6 panitia lain langsung menghitung pesan suara. Karena, dalam undang- undang pemilu penghitungan wajib rampung jam 12 malam. Apabila tidak rampung, terdapat toleransi 12 jam sampai jam 12 siang besok harinya.
Sejauh hari itu, Rofi serta kawan- kawan baru mampu rehat menjelang magrib. Ia juga kembali, mandi serta makan. Bakda Isyak, meluncur lagi ke TPS buat melanjutkan penghitungan." di TPS aku, penghitungan baru rampung jam 9 pagi besok harinya, sepanjang itu aku tidak tidur," ucap ia, Kamis 25 April 2019.
Berakhir mengurusi pemilu, urusan lain menanti, ia wajib ke sekolah buat melihat anaknya berlomba. Sesungguhnya kala itu, ia telah merasa gak lezat tubuh, tetapi dikuat- kuatkan supaya anaknya semangat berlomba yang rangkaiannya berlangsung sampai larut malam.
" Walaupun letih, wajib dikuat- kuatin, supaya anak semangat yang lomba jika amati ayahnya tiba," ucap ia.
Jam 1 dini hari, Rofi baru betul- betul merasakan empuknya kasur. Tetapi besok harinya meriang tiba, memaksanya terus tiduran sampai berhari- hari setelahnya." Aku hanya memohon kerokan ke istri, terencana gak ingin cek, supaya honor panitia enggak kilat habis," ucap Rofi.
Tetapi, seberapa juga di hemat, honornya habis pula. Meriang yang tidak kunjung reda, buatnya wajib menebus obat pula. Ditambah membeli kebutuhan dapur yang tidak boleh telat, honor itu telah ludes sedangkan Rofi belum dapat bekerja sebab masih dibekap meriang.
" Honornya seperti gak berkah, kilat habis. Lebih awet duit keringat kuning," tuturnya sembari tersenyum.
Soal honor, dia mengaku tidak ketahui angka nyatanya. Dia cuma ketahui honor sudah dikirim ke rekening senilai Rp 460 ribu sehabis dipotong bermacam pajak." Jika gak salah total honor 500 ribu," kata ia.
Jika honor satu juta? Mendengar persoalan ini, Rofi nampaknya tidak jadi kapok jadi panitia pemilu." Jika sejuta, aku ingin jadi KPPS lagi, duit segitu sebanding dengan beban kerjanya," katanya.
" Yang wafat telah lebih 140 KPPS, buat khawatir aja. Tetapi memanglah, honor tidak sebanding dengan beban kerja, mudah- mudahan tidak terdapat lagi pemilu serentak," kata laki- laki 27 tahun ini tentang sebabnya kapok jadi panitia pemilu.
Pada hari H pemilu serentak, Rabu 17 April kemudian, Rofi telah datang di TPS semenjak jam 6 pagi. Semenjak itu, mata ayah satu anak ini hampir tidak terpejam oleh aneka banyak aktivitas mulai dari memilah pesan suara setelah itu menuliskan nama pemilih setimpal DPT.
Banyak aktivitas kian padat selepas duhur, sehabis pencoblosan ditutup. Rofi serta 6 panitia lain langsung menghitung pesan suara. Karena, dalam undang- undang pemilu penghitungan wajib rampung jam 12 malam. Apabila tidak rampung, terdapat toleransi 12 jam sampai jam 12 siang besok harinya.
Sejauh hari itu, Rofi serta kawan- kawan baru mampu rehat menjelang magrib. Ia juga kembali, mandi serta makan. Bakda Isyak, meluncur lagi ke TPS buat melanjutkan penghitungan." di TPS aku, penghitungan baru rampung jam 9 pagi besok harinya, sepanjang itu aku tidak tidur," ucap ia, Kamis 25 April 2019.
Berakhir mengurusi pemilu, urusan lain menanti, ia wajib ke sekolah buat melihat anaknya berlomba. Sesungguhnya kala itu, ia telah merasa gak lezat tubuh, tetapi dikuat- kuatkan supaya anaknya semangat berlomba yang rangkaiannya berlangsung sampai larut malam.
" Walaupun letih, wajib dikuat- kuatin, supaya anak semangat yang lomba jika amati ayahnya tiba," ucap ia.
Jam 1 dini hari, Rofi baru betul- betul merasakan empuknya kasur. Tetapi besok harinya meriang tiba, memaksanya terus tiduran sampai berhari- hari setelahnya." Aku hanya memohon kerokan ke istri, terencana gak ingin cek, supaya honor panitia enggak kilat habis," ucap Rofi.
Tetapi, seberapa juga di hemat, honornya habis pula. Meriang yang tidak kunjung reda, buatnya wajib menebus obat pula. Ditambah membeli kebutuhan dapur yang tidak boleh telat, honor itu telah ludes sedangkan Rofi belum dapat bekerja sebab masih dibekap meriang.
" Honornya seperti gak berkah, kilat habis. Lebih awet duit keringat kuning," tuturnya sembari tersenyum.
Soal honor, dia mengaku tidak ketahui angka nyatanya. Dia cuma ketahui honor sudah dikirim ke rekening senilai Rp 460 ribu sehabis dipotong bermacam pajak." Jika gak salah total honor 500 ribu," kata ia.
Jika honor satu juta? Mendengar persoalan ini, Rofi nampaknya tidak jadi kapok jadi panitia pemilu." Jika sejuta, aku ingin jadi KPPS lagi, duit segitu sebanding dengan beban kerjanya," katanya.
Comments
Post a Comment